Minggu, 20 Januari 2013

Legenda Warisan Yang Hidup


Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Goethe Institut, dan Kamar Dagang dan Industri Jerman-Indonesia (EKONID) yang tergabung dalam JERIN ( Jerman – Indonesia ), mengadakan Pameran Batik Indonesia yang bertajuk ” Warisan yang Hidup “. Pameran ini berlangsung pada 25 Januari hingga 6 Februari 2012 bertempat di Galeri Nasional di Jakarta. Namun, karena besarnya animo pengunjung, pameran ini akan diperpanjang hingga 19 Februari. Dalam pameran ini ditampilkan berbagai kain-kain batik tradisional nusantara serta penjelasan mengenai cara pembuatannya.
Kain tradisional yang ditampilkan di pameran ini kebanyakan merupakan kain-kain tua dengan harga yang cukup mahal. Bagi Jerin, batik merupakan salah satu bentuk karya seni Indonesia yang paling mempesona. Sehingga lewat Pameran Batik Indonesia ” Warisan yang Hidup” inilah mereka ingin memberi penghormatan atas keindahan dan rumitnya proses pembuatan batik. Dan bukan tanpa alasan UNESCO pada 2009 menobatkan Batik Indonesia sebagai “..Sebuah Warisan yang Hidup..” Lewat pameran ini, Jerin hendak memamerkan perjalanan yang dilalui Batik ditingkat internasional maupun nasional.

"...Bahan Pewarna Alami Yang Biasa di Gunakan dalam Pembuatan Batik Tulis Tradisional..."
Disampaikan pula mengenai sejarah Batik, proses produksi tradisional yang hampir terlupakan, juga menyampaikan makna mengenai simbol-simbol dari motif-motif batik yang dipergunakan. Dalam pameran ini ditunjukkan soal pembutan batik tulis yang tidak mudah. Mulai dari proses pembuatan pola, pewarnaan, hingga menjadi barang siap pakai. Proses pewarnaan secara tradisionnal pun dilakukan dengan bahan-bahan alami seperti kulit manggis, kulit kayu, daun mangga, dan sebagainya. Bahkan, kain batik yang dikenal sebagai batik tiga negara, mesti melewati tiga kota, Lasem-Surakarta-Pekalongan, dalam proses pewarnaannya. Sebab perbedaan air dan bahan pewarna di tiga kota tersebut, menghasilkan warna-warna yang sangat indah. Dalam proses pewarnaan batik tulis,jika kain batik ini hendak diberi lebih dari satu warna, para perajin mesti telaten menutup bagian-bagian yang hendak diberi warna lain dengan malam, baru kemudian di celup. Malam yang digunakan pun ternyata bertingkat-tingkat kualitasnya, malam kuning merupakan yang terbaik, disusul malam beningan, dan malam tembok. Sebuah proses yang tak mudah dan memakan waktu tentunya. Maka tak heran, jika hara batik tulis ini memang sangat tinggi.

"...Sejarah Batik Yang Terpampang dalam Pameran ini Menunjukkan Posisi Batik dari Masa ke Masa..."
Tak hanya batik-batik tradisional yang dipamerkan, namun Batik kontemporer karya Iwan Tirta dan seniman-seniman lain berasal dari Eropa, utamanya yang berasal dari Jerman juga ikut dipamerkan. Sebagai pelopor batik kontemporer, Iwan Tirta berhasil melambungkan Batik di kancah internasional lewat rancangan-rancangannya yang mewah dan elegan. Jerin pun melihat perlunya memasukkan persoalan pelestarian lingkungan hidup terkait proses produksi Batik. Hal ini disampaikan melalui Clean Batik Initiative (CBI) dari Perkumpulan Ekonomi Indoensia-Jerman (Ekonid) pada 2010. Program yang ada di bawah pengawasan EU Switch-Asia program ini bertujuan untuk memperkenalkan dan melatih metode produksi yang lebih “hijau” kepada para produsen batik. Lebih hijau karena sebisa mungkin produksi batik yang dilakukan hemat air, bahan baku, dan energi. Pelatihan telah dilakukan terhadap 300 UKM batik di Jawa Tengah.Semoga Batik kita bisa terus lestari, kian ramah dengan lingkungan, dan tentunya akrab dengan kita sebagai generasi pewaris selanjutnya.

http://nrmnews.com/2012/02/10/pameran-batik-jerin-legenda-warisan-yang-hidup/


0 komentar:

Posting Komentar