Selasa, 30 Oktober 2012

Kidung Penjaga di Keheningan Malam


http://www2.nau.edu)

KIDUNG Rumeksa Ing Wengi“. Saya terjemahkan bebas menjadi Kidung Penjaga di Keheningan Malam. Ia merupakan tembang, gita, lagu atau nyanyian yang sangat popoler di pedesaan-pedesaan Jawa. Konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa.
Tatkala SD di Klaten Jawa Tengah awal-awal 1980-an, saya acap mendengar “ura-ura” (senandung) lirih dan penuh penghayatan ini dari bibir tipis Pakde Minto pada keheningan malam yang tengah “leyeh-leyeh” (berbaring rileks) di bale bambu yang sudah agak reyot. Di lain waktu, kidung ini disenandungkannya sembari membuai mesra putra bungsunya yang susah tidur dan senahttp://www2.nau.edu) “KIDUNG Rumeksa Ing Wengi”. Saya terjemahkan bebas menjadi Kidung Penjaga di Keheningan Malam. Ia merupakan tembang, gita, lagu atau nyanyian yang sangat popoler di pedesaan-pedesaan Jawa. Konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Salah satu dari sembilan wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa.Tatkala SD di Klaten Jawa Tengah awal-awal 1980-an, saya acap mendengar “ura-ura” (senandung) lirih dan penuh penghayatan ini dari bibir tipis Pakde Minto pada keheningan malam yang tengah “leyeh-leyeh” (berbaring rileks) di bale bambu yang sudah agak reyot. Di lain waktu, kidung ini disenandungkannya sembari membuai mesra putra bungsunya yang susah tidur dan senantiasa menangis –sebagai pengantar ke peraduan. Apabila mendengar kidung dilantunkan, aliran darah serasa terkesiap. Dan memang, pada kenyataannya kidung ini bukan sembarang kidung. Orang Jawa meyakini, dengan menyanyikannya, maka pelantun dan keluarganya akan terhindar dari malapetaka. Keseluruhan bait dari “Kidung Rumeksa Ing Wengi” berjumlah sembilan. Namun yang terkenal dan acapkali disenandungkan yakni bait pertamanya. Bait pertama sangat dikenal dan menjadi semacam “kidung wingit” karena diyakini membawa tuah seperti mantra sakti penolak bala. Jika kita cermati makna dari sembilan bait kidung ini, kandungan isinya merupakan medium dakwah dalam bentuk tembang yang sangat luar biasa. Ini menandakan bahwa para penyebar agama Islam di masa-masa awal perkembangannya di pulau Jawa mampu memahami, menjiwai dan sekaligus menjawab kebutuhan spiritualitas masyarakat. Semangat yang terkandung dari kidung ini untuk saling ingat-mengingatkan manusia agar senantiasa mendekatkan diri kepada Gusti Allah SWT. Dengan mempercayai bahwa Allah SWT sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya, maka apapun rintangan dan godaan dari luar yang menghadang akan dengan mudah diatasi. Termasuk rintangan dan godaan yang kadangkala di luar kemampuan akal manusia. *** Sekarang mari kita resapi, dua buah bait gita ini dalam langgam “Dhandhanggula”. Ia seolah-olah menjadi tembang klasiknya Orang Jawa, yang abadi sepanjang masa. Hingga kini, orang-orang tua di pedesaan masih banyak yang hapal dan mengamalkan lirik tembang terkemuka ini. Kidung Rumeksa Ing Wengi (1) —————————- Ana kidung rumekso ing wengi Teguh hayu luputa ing lara Luputa bilahi kabeh Jim setan datan purun Paneluhan tan ana wani Miwah panggawe ala Gunaning wong luput Geni atemahan tirta Maling adoh tan ana ngarah ing mami Guna duduk pan sirno Terjemahannya dalam bahasa Indonesia: Kidung Penjaga di Keheningan Malam (1) —————————- Ada kidung penjaga di keheningan malam Kukuh selamat terbebas dari penyakit Terbebas dari segala malapetaka Jin dan setan jahat pun tidak berkenan Segala jenis sihir pun tidak ada yang berani Apalagi perbuatan jahat Ilmu orang yang bersalah Api dan juga air Pencuri pun jauh tak ada yang menuju padaku Guna-guna sakti pun sirna *** Sementara itu, saya pilihkan bait berikutnya yang dipercaya dapat mempercepat perjodohan. Bagi orang Jawa, mengamalkan lirik ini, terutama bagi perempuan tua yang kesulitan mendapatkan suami diyakini dapat menemukan jodohnya. Disamping itu, bait ini juga dipercaya dapat menyembuhkan orang gila. Betul atau salah, dan betul-betul berkasiat atau tidak, saya serahkan pada kemantapan masing-masing pribadi. Kidung Rumeksa Ing Wengi (2) —————————- Wiji sawiji mulane dadi Apan pencar saisining jagad Kasembadan dening zate Kang maca kang angrungu Kang anurat kang anyimpeni Dadi ayuning badan Kinarya sesembur Yen winacakna ing toya Kinarya dus rara gelis laki Wong edan nuli waras Terjemahannya dalam bahasa Indonesia: Kidung Penjaga di Keheningan Malam (2) —————————- Kejadian berasal dari biji yang sama kemudian berpencar ke seluruh dunia Terimbas oleh zat-Nya Yang membaca dan mendengarkan Yang menyalin dan menyimpannya Menjadi keselamatan badan Sebagai sarana pengusir Apabila diterapkan dalam air Dipakai mandi perawan agar cepat bersuami Orang gila pun segera sembuh ***** Dwiki Setiyawan, anggota komunitas Blogger Kompasiana. http://dwikisetiyawan.wordpress.com http://www2.nau.edu) Misteri Malam (kredit foto: http://www2.nau.edu) tiasa menangis –sebagai pengantar ke peraduan.
Apabila mendengar kidung dilantunkan, aliran darah serasa terkesiap. Dan memang, pada kenyataannya kidung ini bukan sembarang kidung. Orang Jawa meyakini, dengan menyanyikannya, maka pelantun dan keluarganya akan terhindar dari malapetaka.
Keseluruhan bait dari “Kidung Rumeksa Ing Wengi” berjumlah sembilan. Namun yang terkenal dan acapkali disenandungkan yakni bait pertamanya. Bait pertama sangat dikenal dan menjadi semacam “kidung wingit” karena diyakini membawa tuah seperti mantra sakti penolak bala.
Jika kita cermati makna dari sembilan bait kidung ini, kandungan isinya merupakan medium dakwah dalam bentuk tembang yang sangat luar biasa. Ini menandakan bahwa para penyebar agama Islam di masa-masa awal perkembangannya di pulau Jawa mampu memahami, menjiwai dan sekaligus menjawab kebutuhan spiritualitas masyarakat.
Semangat yang terkandung dari kidung ini untuk saling ingat-mengingatkan manusia agar senantiasa mendekatkan diri kepada Gusti Allah SWT. Dengan mempercayai bahwa Allah SWT sangat dekat dengan makhluk ciptaan-Nya, maka apapun rintangan dan godaan dari luar yang menghadang akan dengan mudah diatasi. Termasuk rintangan dan godaan yang kadangkala di luar kemampuan akal manusia.
***
Sekarang mari kita resapi, dua buah bait gita ini dalam langgam “Dhandhanggula“. Ia seolah-olah menjadi tembang klasiknya Orang Jawa, yang abadi sepanjang masa. Hingga kini, orang-orang tua di pedesaan masih banyak yang hapal dan mengamalkan lirik tembang terkemuka ini.

0 komentar:

Posting Komentar